MATHEMATIC FAIR

Kamis, 17 Maret 2011

CIRI-CIRI PEMIMPIN MUHAMMADIYAH


Ciri-ciri Pemimpin Muhammadiyah

SEJAK berdiri dari tahun 1912 hingga tahun 2000 ini, Muhammadiyah telah
mengadakan muktamar sebanyak 44 kali. Sudah 13 tokoh Muhammadiyah yang menjadi
Ketua Umum, mulai awal berdirinya yang dipimpin KH. Ahmad Dahlan hingga
sekarang yang dipegang oleh Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif.
Setiap periode kepemimpinan tersebut juga punya ciri-ciri khusus sesuai dengan
zamannya, baik pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, zaman Jepang, zaman
kemerdekaan, zaman Orba dan zaman Reformasi.
Periode KH. Ahmad Dahlan (1912-1923), dikenal sebagai periode perintisan,
pembentukan jiwa, amal usaha, dan organisasi Muhammadiyah, sehingga
Muhammadiyah menduduki tempat terhormat sebagai pergerakan Islam Indonesia
yang
berpaham modern.
Periode KH. Ibrahim (1923-1932), adalah periode pengembangan Muhammadiyah ke
luar Pulau Jawa, mulai berdirinya Majelis Tarjih sebagai wadah pembaruan
pemikiran Islam dalam Muhammadiyah. Pada periode ini pula angkatan muda
memperoleh organisasi yang nyata, seperti lahirnya Nasiyatul Aisyiyah pada
tahun 1930, yang disusul kemudian oleh Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1932.
Periode KH. Hisyam (1932-1936), menumpukan perhatiannya pada masalah-masalah
pendidikan dalam rangka mempersiapkan kader pemimpin.
Periode KH. Mas Mansur (1936-1942), yang dikenal sebagai tokoh yang aktif,
membentuk dan mengisi jiwa gerakan Muhammadiyah. Perhatian terhadap Majelis
Tarjih mendapat prioritas utama dengan merumuskan “Masalah Lima” yang terdiri
atas masalah dunia, agama, kias, sabilillah, dan ibadah.
Untuk mendinamisasi Muhammadiyah disusun pula pada periode ini “Langkah Dua
Belas” (suatu strategi yang ditetapkan Muhammadiyah dalam memasyarakatkan dan
mengembangkan dakwah Islam, yang berisikan 12 butir), yang terdiri atas
Langkah
Ilmi dan Langkah Amali.
Periode Ki Bagus Hadikusumo (1942-1953), terkenal dengan lahirnya Mukadimah
Anggaran Dasar Muhammadiyah yang berisi pokok-pokok pikiran KH. Ahmad Dahlan
dalam melahirkan Muhammadiyah, yang digambarkan secara singkat dan sederhana.
Mukadimah ini menjadi landasan berpijak yang kuat dalam melancarkan amal usaha
dan perjuangan Muhammadiyah.
Periode AR. Sutan Mansur (1953-1959), merupakan penanaman kembali dan
pemantapan “Ruh Tauhid” (semangat tauhid) dalam Muhammadiyah, dan berhasil
disusun langkah perjuangan yang dikenal dengan Khittah Palembang berupa
langkah-langkah dan strategi Muhammadiyah dalam dakwah amar ma’ruf nahi munkar
yang dihasilkan Muktamar Muhammadiyah di Palembang, untuk masa periode tahun
1956-1959.
Periode HM. Yunus Anis (1959-1962), adalah periode ketika Indonesia mengalami
keguncangan sosial dan politik. Untuk mengantisipasi keadaan tersebut,
Muhammadiyah perlu menunjukkan dirinya sehingga disusunlah “Kepribadian
Muhammadiyah” sebagai pedoman penting dalam menentukan kedudukan Muhammadiyah
sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang
kemasyarakatan.
Periode KH. Ahmad Badawi (1962-1968), dikenal dengan semakin giatnya gerakan
Partai Komunis sehingga di berbagai tempat Muhammadiyah mendapat kesulitan.
Muhammadiyah ikut serta berperan untuk menumbangkan Partai Komunis Indonesia
(PKI). Dengan fatwa tegas KH. Ahmad Badawi mengatakan bahwa “Membubarkan PKI
adalah ibadah.”
Periode KH. Fakih Usman 1968-1971, dan KH. Abdur Rozzaq Fakhruddin (1971-1990)
dikenal dengan semboyan “Memuhammadiyahkan kembali Muhammadiyah” yang
dilakukan
dengan empat prioritas program, yaitu (1) Program Gerakan Jemaah dan Dakwah
Jemaah, (2) Pemurnian Amal Usaha Muhammadiyah, (3) Peningkatan Mutu Anggota
dan
Pimpinan, serta (4) Pembinaan Angkatan Muda dalam Muhammadiyah.
Pada periode tahun 1990-1995, di bawah pimpinan KH. Ahmad Azhar Basyir, MA,
perhatian ditujukan pada pengembangan organisasi secara profesional dengan
manajemen masa kini, kemudian peningktan penyantunan kaum duafa (kaum lemah),
peningkatan kualitas pimpinan, dan strategi dakwah pada era informasi dan
industrialisasi.
Sesuai dengan zamannya, Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada periode ini
menghadapi
tantangan yang lebih sulit dan memerlukan penanganan secara profesional. Untuk
itu struktur organisasi lebih dikembangkan sehingga diharapkan tujuan
Muhammadiyah dapat dicapai secara terencana, terarah, dan berkesinambungan di
berbagai bidang kehidupan sesuai dengan gerak langkah Muhammadiyah.
Periode kepemimpinan Amien Rais boleh disebut sebagai periode “suksesi”
kepemimpinan nasional Orde Baru. Masa kepemimpinan Amien Rais tahun 1995-1998
ini periode yang dinamis. Muktamar ke-43 Muhammadiyah di Aceh mengamanati
Amien
Rais untuk menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah. Namun belum penuh masa jabatan
lima tahun, jabatan Ketua Umum PP Muhammadiyah dilepaskan.
Lagi-lagi sejarah bangsa ini mengharuskannya meninggalkan jabatan Ketua
Umum PP
Muhammadiyah untuk melakukan sesuatu yang lebih besar lagi bagi umat dan
bangsa
ini. Setelah lengsernya rezim Orde Baru dan situasi politik yang semakin
meresahkan, ia mendirikan Majelis Amanat Rakyat (MARA) dan atas desakan dari
masyarakat yang menginginkan perubahan atas paradigma politik di Indonesia, ia
kemudian mendirikan partai politik bernama Partai Amanat Nasional (PAN) yang
pada pemilu 1999 menduduki posisi 5 besar dalam perolehan suara.
Periode berikutnya adalah kepemimpinan Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif
(1998-hingga Muktamar ke-44 di Jakarta), setelah dilepaskannya jabatan Ketua
Umum oleh Amien Rais. Apakah Syafi’i Maa’rif terpilih lagi untuk menjadi Ketua
Umum PP Muhammadiyah, kita tunggu hasil muktamar ini. Insya Allah menghasilkan
sesuatu yang baik bagi nusa, bangsa dan agama.(Tim “PR”)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar