Ciri-ciri Pemimpin Muhammadiyah SEJAK berdiri dari tahun 1912 hingga tahun 2000 ini, Muhammadiyah telah mengadakan muktamar sebanyak 44 kali. Sudah 13 tokoh Muhammadiyah yang menjadi Ketua Umum, mulai awal berdirinya yang dipimpin KH. Ahmad Dahlan hingga sekarang yang dipegang oleh Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif. Setiap periode kepemimpinan tersebut juga punya ciri-ciri khusus sesuai dengan zamannya, baik pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, zaman Jepang, zaman kemerdekaan, zaman Orba dan zaman Reformasi. Periode KH. Ahmad Dahlan (1912-1923), dikenal sebagai periode perintisan, pembentukan jiwa, amal usaha, dan organisasi Muhammadiyah, sehingga Muhammadiyah menduduki tempat terhormat sebagai pergerakan Islam Indonesia yang berpaham modern. Periode KH. Ibrahim (1923-1932), adalah periode pengembangan Muhammadiyah ke luar Pulau Jawa, mulai berdirinya Majelis Tarjih sebagai wadah pembaruan pemikiran Islam dalam Muhammadiyah. Pada periode ini pula angkatan muda memperoleh organisasi yang nyata, seperti lahirnya Nasiyatul Aisyiyah pada tahun 1930, yang disusul kemudian oleh Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1932. Periode KH. Hisyam (1932-1936), menumpukan perhatiannya pada masalah-masalah pendidikan dalam rangka mempersiapkan kader pemimpin. Periode KH. Mas Mansur (1936-1942), yang dikenal sebagai tokoh yang aktif, membentuk dan mengisi jiwa gerakan Muhammadiyah. Perhatian terhadap Majelis Tarjih mendapat prioritas utama dengan merumuskan “Masalah Lima” yang terdiri atas masalah dunia, agama, kias, sabilillah, dan ibadah. Untuk mendinamisasi Muhammadiyah disusun pula pada periode ini “Langkah Dua Belas” (suatu strategi yang ditetapkan Muhammadiyah dalam memasyarakatkan dan mengembangkan dakwah Islam, yang berisikan 12 butir), yang terdiri atas Langkah Ilmi dan Langkah Amali. Periode Ki Bagus Hadikusumo (1942-1953), terkenal dengan lahirnya Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang berisi pokok-pokok pikiran KH. Ahmad Dahlan dalam melahirkan Muhammadiyah, yang digambarkan secara singkat dan sederhana. Mukadimah ini menjadi landasan berpijak yang kuat dalam melancarkan amal usaha dan perjuangan Muhammadiyah. Periode AR. Sutan Mansur (1953-1959), merupakan penanaman kembali dan pemantapan “Ruh Tauhid” (semangat tauhid) dalam Muhammadiyah, dan berhasil disusun langkah perjuangan yang dikenal dengan Khittah Palembang berupa langkah-langkah dan strategi Muhammadiyah dalam dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang dihasilkan Muktamar Muhammadiyah di Palembang, untuk masa periode tahun 1956-1959. Periode HM. Yunus Anis (1959-1962), adalah periode ketika Indonesia mengalami keguncangan sosial dan politik. Untuk mengantisipasi keadaan tersebut, Muhammadiyah perlu menunjukkan dirinya sehingga disusunlah “Kepribadian Muhammadiyah” sebagai pedoman penting dalam menentukan kedudukan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang kemasyarakatan. Periode KH. Ahmad Badawi (1962-1968), dikenal dengan semakin giatnya gerakan Partai Komunis sehingga di berbagai tempat Muhammadiyah mendapat kesulitan. Muhammadiyah ikut serta berperan untuk menumbangkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan fatwa tegas KH. Ahmad Badawi mengatakan bahwa “Membubarkan PKI adalah ibadah.” Periode KH. Fakih Usman 1968-1971, dan KH. Abdur Rozzaq Fakhruddin (1971-1990) dikenal dengan semboyan “Memuhammadiyahkan kembali Muhammadiyah” yang dilakukan dengan empat prioritas program, yaitu (1) Program Gerakan Jemaah dan Dakwah Jemaah, (2) Pemurnian Amal Usaha Muhammadiyah, (3) Peningkatan Mutu Anggota dan Pimpinan, serta (4) Pembinaan Angkatan Muda dalam Muhammadiyah. Pada periode tahun 1990-1995, di bawah pimpinan KH. Ahmad Azhar Basyir, MA, perhatian ditujukan pada pengembangan organisasi secara profesional dengan manajemen masa kini, kemudian peningktan penyantunan kaum duafa (kaum lemah), peningkatan kualitas pimpinan, dan strategi dakwah pada era informasi dan industrialisasi. Sesuai dengan zamannya, Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada periode ini menghadapi tantangan yang lebih sulit dan memerlukan penanganan secara profesional. Untuk itu struktur organisasi lebih dikembangkan sehingga diharapkan tujuan Muhammadiyah dapat dicapai secara terencana, terarah, dan berkesinambungan di berbagai bidang kehidupan sesuai dengan gerak langkah Muhammadiyah. Periode kepemimpinan Amien Rais boleh disebut sebagai periode “suksesi” kepemimpinan nasional Orde Baru. Masa kepemimpinan Amien Rais tahun 1995-1998 ini periode yang dinamis. Muktamar ke-43 Muhammadiyah di Aceh mengamanati Amien Rais untuk menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah. Namun belum penuh masa jabatan lima tahun, jabatan Ketua Umum PP Muhammadiyah dilepaskan. Lagi-lagi sejarah bangsa ini mengharuskannya meninggalkan jabatan Ketua Umum PP Muhammadiyah untuk melakukan sesuatu yang lebih besar lagi bagi umat dan bangsa ini. Setelah lengsernya rezim Orde Baru dan situasi politik yang semakin meresahkan, ia mendirikan Majelis Amanat Rakyat (MARA) dan atas desakan dari masyarakat yang menginginkan perubahan atas paradigma politik di Indonesia, ia kemudian mendirikan partai politik bernama Partai Amanat Nasional (PAN) yang pada pemilu 1999 menduduki posisi 5 besar dalam perolehan suara. Periode berikutnya adalah kepemimpinan Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif (1998-hingga Muktamar ke-44 di Jakarta), setelah dilepaskannya jabatan Ketua Umum oleh Amien Rais. Apakah Syafi’i Maa’rif terpilih lagi untuk menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, kita tunggu hasil muktamar ini. Insya Allah menghasilkan sesuatu yang baik bagi nusa, bangsa dan agama.(Tim “PR”)*** |
Kamis, 17 Maret 2011
CIRI-CIRI PEMIMPIN MUHAMMADIYAH
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar